Kalau ditanya apakah aku suka hewan, jawabannya sudah pasti ya. Sejak kecil aku sudah memelihara beberapa jenis hewan. Yang pertama dulu tupai yang entah dari mana bisa ayah temukan dan bawa pulang. Yang kedua, kelinci. Sangat lucu, bulunya putih seperti salju dan matanya merah. Yang ketiga, hamster. Kubeli saat pergi ke pasar malam. Namun akhir dari kisahku dan hewan selalu sama; kami berpisah. Tupai dan hamsterku mati, sementara kelinciku kabur saat aku dan adikku sedang bermain. Sejak saat itu, mama tidak pernah mengijinkan aku untuk piara hewan lagi. Mungkin baginya, aku masih belum bertanggung jawab. Mamaku tidak pernah menganggap hewan hanya sekadar hewan. Mama selalu memandang mereka sebagai makhluk hidup yang butuh dirawat.
Saat SMA, aku tidak sengaja hampir menginjak anak ayam di halaman rumah nenekku. Yang pertama kupikirkan setelah kejadian itu bukannya penyesalan, namun malah kekaguman karena ya ampun, ayam kecil ternyata sangat lucu! Ketika aku meminta izin untuk memelihara anak ayam tersebut, mamaku mengiyakan dengan mudah. Aku sangat senang, mungkin menurut mama aku sudah dapat dipercaya mengingat umurku yang sudah menginjak 15 tahun. Setiap hari aku memberinya makan sambil membelai sayap kuningnya yang kecil. Anak ayam itu benar-benar hanya seukuran setengah telapak tanganku dan sangat menggemaskan. Namun ternyata nasib anak ayamku sama seperti hewan lain yang pernah kupelihara, ia mati setelah dua minggu kubawa ke rumah.
Hingga saat ini aku tidak pernah berencana memelihara hewan lagi. Meskipun aku sering berkeinginan membawa pulang kucing-kucing jalanan yang berkeliaran, aku tidak pernah benar-benar melakukannya. Aku memaafkan diriku sendiri saat tupai dan hamsterku mati, pun saat kelinciku kabur. Namun, aku sulit memaafkan diriku sendiri saat anak ayamku hanya bertahan dua minggu. Aku, diumurku yang sudah remaja, ternyata belum bisa memikul tanggung jawab kehidupan makhluk lain.
Suatu hari di kampus aku bertemu teman yang pendiam. Ia sangat mirip diriku yang dahulu, berpikiran A sampai Z namun tidak pernah mengungkapkan. Alasannya sederhana, karena aku dahulu—dan dia sekarang—merasa itu tidak perlu. Selain mirip diriku, aku merasa temanku ini mirip anak ayamku yang sudah mati. Bukan karena suaranya yang kecil dan mencicit—suaranya normal bahkan cenderung berat. Namun karena aku melihat ia sangat rapuh, persis anak ayamku yang ukurannya kurang dari sekepal genggaman jari.
“Bagaimana memulai sebuah pertemanan?” pertanyaannya padaku melalui media percakapan di internet.
Aku tidak segera membalasnya, melainkan hanya tertegun memandang layar ponselku. Kemudian aku bergumam, separuh berbisik kepada diriku sendiri. Memangnya bagaimana?
“Aku nggak tahu,” balasku singkat.
Ada beberapa pertanyaan di dunia ini yang lebih mudah ketimbang soal ujian tengah semester mata kuliah lingustik, tapi mungkin saking mudahnya, kita tidak pernah benar-benar memikirkan jawabannya.
“Kenapa kamu mau berteman sama aku?” ia bertanya lagi.
Apa pentingnya? Aku mengernyitkan alis sebelah kanan tanda heran. Anak ini kenapa sih pertanyaannya aneh-aneh?
“Memangnya kenapa?” aku membalas dengan sedikit harapan ia akan menyudahi pertanyaan anehnya.
“Aku mau tahu. Jawab dong.”
Oke, sepertinya harapanku sia-sia. Jadi kubalas saja pesannya, “Aku juga nggak tahu. Tiba-tiba aja kita berteman. Aku juga lupa awalnya. Hm.. gara-gara tugas kelompok leksiko bukan? Kayaknya iya deh. Memang kenapa, sih?”
“Hehe, kan aku udah bilang kalau mau tahu. Menurutmu kenapa karena tugas itu kita jadi berteman? Kan bisa saja habis presentasi kita nggak ngobrol lagi. Makanya aku mikir, bagaimana memulai sebuah pertemanan, karena kayaknya kita nggak mulai apa-apa tapi tiba-tiba berteman.”
Aku tertawa membaca balasannya. Temanku satu ini memang persis anak ayamku. Selain rapuh, kadang ia bisa tiba-tiba berisik sendiri, terlepas dari sikapnya sehari-hari yang dingin.
“Kamu kayak anak ayamku. Berisik.” Balasku.
“Lucu, dong. Siapa namanya?”
“Nyam-nyam, tapi udah mati.”
“JAHAT BANGET!”
Lagi-lagi aku terkekeh pelan. Sejujurnya aku jadi memikirkan pertanyaannya tadi. Mungkin aku tidak tahu bagaimana memulai sebuah pertemanan, tapi bukan berarti aku tidak pernah melakukan. Pasti aku melakukan, karena suatu hal tidak akan berjalan tanpa awalan. Tapi bisa saja awalan itu tidak terasa terlalu penting karena ternyata jauh lebih menyenangkan setelah dijalani. Bisa saja, kan?
“Buat beberapa hal, nggak penting kita tahu gimana mulainya, yang penting kita senang waktu menjalani.” Kutekan tombol kirim di layar ponselku.
Temanku itu seperti punya kolam di kepalanya, isinya pikirannya sendiri. Kadang aku sampai berusaha agar tidak tertidur karena ceritanya bisa memakan waktu 15 menit untuk satu kisah saja. Dengan mulutku ini, aku pasti hanya melakukannya dalam 2 menit. Kolam di kepalanya ini bagaikan ada sumbatan sehingga pikiran yang keluar melalui mulutnya hanya sedikit-sedikit.
Kadang ia merasa orang lain keren, bisa berbicara cepat, runtut dan mudah dipahami. Sementara ia merasa kemampuannya berkomunikasi tidak sehebat itu. Ia juga merasa kebanyakan orang yang suka berbicara juga suka mengeluh, dan itu merupakan salah satu hal yang tidak ia suka. Makanya ia selalu memilih diam, hanya berbicara yang perlu.
Pesanku tidak dibalas. Mungkin ia sudah tidur, atau mungkin ia sedang berpikir. Aku tidak masalah berteman dengan orang berisik maupun orang yang irit bicara. Setidaknya karena berteman dengannya, aku sekarang sedikit bisa memaafkan diriku sendiri perkara tanggung jawab yang selama ini kupikir belum kumiliki. Ya, memang belum sih. Tapi setidaknya aku berani mencoba mengasuh ‘anak ayam’ lainnya. Meskipun aku tidak harus memberi makan dan membersihkan kandang, tapi aku tahu aku harus merawat mereka. Entah itu dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tidak penting, mendengarkan cerita-cerita sedih, membantu memilihkan kalimat yang tepat saat diajak jalan oleh kakak kelas, apapun itu selama membuat mereka bahagia, aku akan berusaha melakukan. kebahagiaan, satu-satunya hal yang bisa kurawat dan membuktikan aku bisa bertanggung jawab dengan makhluk lain.
Seandainya temanku yang persis anak ayamku yang sudah mati ini tahu bahwa ia tidak perlu ceria seperti orang lain kalau memang itu tidak membuatnya nyaman. Seandainya ia tahu jika sifat kalemnya yang bikin mengantuk itu bisa membuatku sadar dan percaya diri bahwa aku bisa bertanggung jawab lagi. Tapi aku tidak akan memberi tahu, sih. Kalau suatu saat ia memutuskan untuk membersihkan kolam di kepalanya sehingga sumbatannya hilang, aku tetap akan senang untuknya, kok.
Mungkin setelah kuliah multikultural besok aku akan membawa pulang anak-anak kucing di depan gerbang fakultas. Sepertinya kini aku siap!
with the thought of a friend, M.
and those who think it’s weird to keep silent. No it’s not, as long as you want to.